Sabtu, 23 April 2011

Yuke Yuliantaries, Bawa Batik Tembus Internasional

Perubahan bisa datang dari mana saja. Bahkan dari desa sekalipun. Dari desa pulalah, Yuke membangun bisnis batiknya hingga merambah pasar luar negeri. Kini, di usianya yang masih muda, dia menjadi pengusaha batik tersukses yang dimiliki Bondowoso.

Sebagian aspal di gang menuju rumah Yuke di Desa Sumbersari, Maesan, Bondowoso itu telah mengelupas. Tinggal tonjolan-tonjolan batu yang menyeruak ke permukaan. Tepat di samping timur lapangan sepakbola Sumbersari yang sepi itu, rumah Yuke berdiri. Sederhana dan damai. Dilingkupi rindang pepohonan mangga.
Jumat sore (15/4), gerimis tipis turun pelan-pelan. Aroma pewarna dan malan langsung terendus saat memasuki salah satu ruang pewarnaan di rumah Yuke. Di ruang itu, beberapa pria sibuk mewarnai berlembar-lembar kain dengan berbagai motif batik. Dari ruang sederhana ini pulalah, tercipta lembaran-lemabaran kain batik yang selanjutnya dipakai orang-orang ternama.
Selembar kain batik yang sudah selesai diwarnai itu langsung menyita perhatian. Berbahan sutera, kain itu didominasi warna biru dengan guratan-guratan putih. Motif utamanya adalah Lembu Swana, seekor kuda bersayap mirip Pegasus, namun berkaki burung dengan hidung menjuntai layakanya belalai gajah. Di kain itu tergambar pula motif Gigi Balang, ranting penuh daun yang menjulur serupa pakis.
Motif Lembu Swana, hewan mitologi dari masyarakat Kalimantan Timur serta Gigi Balang itu begitu anggun tergambar. Siapa sangka, kain batik itu nantinya akan dikenakan orang penting di Indonesia. “Itu pesanan untuk pak SBY,” kata Yuke. Rencananya, orang nomor wahid di Indonesia itu akan mengenakan batik garapan Yuke pada Penas KTNA XIII pada medio Juni mendatang di Kalimantan Timur.
Selain SBY, beberapa orang ternama di negeri ini sudah pernah memakai batik bikinan Yuke. Sebut saja Aburizal Bakri, Akbar Tanjung hingga mantan wapres Yusuf Kalla. Beberapa menteri yang duduk di pemerintahan pun pernah menggunakan batik hasil produksinya. Bagi Yuke, itu sebuah pencapaian tersendiri yang tentu tak dimiliki semua orang.
Sudah pasti, tak mudah untuk meraih segala pencapaian itu. Jalan yang dia tempuh penuh liku dan panjang. Semuanya bermula dari tahun 2000, saat dia memegang penuh kendali perusahaan Batik Tulis Sumbersari. Ketekunan dan strategi bisnis jitulah yang mengantarkan Yuke meraih itu semua.
Batik Tulis Sumbersari sendiri sejatinya sudah berdiri sejak tahun 1985. Kala itu, tante Yuke, Lilik Soewondo memegang kendali perusahaan. Beranggotakan perempuan-perempuan di karang taruna, lilik memimpin hingga sekitar tahun 1997. Saat krisis moneter menyergap kala itu, aktifitas membatik sempat kolaps. Beberapa orderan yang masih seadanya pun terputus.
Tahun 1999, aktivitas membatik dimulai lagi. Pengelolaan memang masih dilakukan oleh Lilik. Namun pelan-pelan, Yuke mulai terlibat di dalamnya. Yuke mulai menawarkan konsep desain dan motif. Penggunaan bahan mulai diatur. Manajemen pun dibenahi. “Pemasaran juga mulai kita pikirkan,” kata putra dari pasangan Didik Astiawan dan Sri Umiati ini.
Saat memulai kembali usaha batik itu, Yuke telah belajar banyak atas kekurangan-kekurangan yang terjadi di masa lalu. Tumbuh dan besar di lingkungan batik, menjadi bekal baginya untuk membenahi kekurangan-kekurangan itu. Salah satu konsernya adalah bagaimana mengangkat citra batik tulis.
Tahun 2000, saat dia dipercaya memimpin langsung perusahaan keluarga tersebut, dia melakukan langkah yang terbilang ekstrem. Dia melakukan penyegaran di tubuh manajemen. Bahkan bagian desain dan motif  yang sebelumnya diisi ayahnya, waktu itu diberikan kepada adiknya, Ifriko Desriandi.
”Saya ingin semua baru. Image lama harus dirubah dengan yang baru,” kata suami dari Weny Wulandari ini. Tak ada penolakan dengan apa yang dilakukan Yuke. Bahkan keluarganya setuju. Dengan perubahan itu, dia berharap citra batik yang ala kadarnya menjadi karya spesial yang bisa diterima pasar secara luas. Memperkaya motif dan meningkatkan kualitas menjadi jalan yang dia tempuh.
Terobosan penting lainnya adalah bagaimana Yuke merubah target pasar. Sebelumnya, pasar batiknya hanya untuk kalangan menengah ke bawah. “Waktu itu, kita mulai menarget di pasar top level. Karena kalau produk menengah ke bawah kita sulit berkembang,” kenangnya. Jika sebelumnya hanya menggunakan kain katun kelas dua, Yuke mulai menggunakan katun kelas satu sebagai bahan baku utama. Selain itu, penggunaan kain sutera mulai diterapkan.
Strategi yang dia pilih itu mulai membuahkan hasil. Industri batiknya melesat tajam. Dengan kualitas yang terus dijaga, pesanan dari orang-orang penting mulai berdatangan. Beberapa kepala daerah di Tapalkuda mulai mengenakan batik garapannya. Seiring dengan itu, batik garapannya semakin dikenal di masyarakat luas.
Perlahan-lahan, pasar batiknya mulai meluas. Tak hanya individu, banyak instansi yang memesan batik untuk dijadikan seragam khas. Omsetnya pun mulai melambung. Yuke mulai mencecap manis dari jerih payahnya. Hingga pada tahun 2003, pasarnya tak lagi nasional, tapi merambah ke luar negeri.
Pada tahun ketiganya itu, dia mulai menggarap pasar Asia Tenggara. Melalui koleganya, dia mulai menjual batik garapannya ke Filipina, singapura dan Negara-negara ASEAN lainnya. Selanjutnya, tahun 2004, pasarnya sudah merambah ke Eropa, seperti belanda, perancis, hingga Brazil dan Amerika.
Tak berhenti di situ, sudah satu tahun terakhir ini dia mulai lebih serius untuk menggarap pasar permanen di luar negeri. Rencananya, bersama dengan seorang turis yang pernah datang ke rumahnya, dia akan membuka sebuah outlet batik di Finlandia. Pasar nasional memang masih menjadi prioritasnya. Namun demi menjaga citra dan nilai jual, pasar luar negeri terus dia garap.
Di atas pencapaian yang sudah direngkuh, Yuke mengalami juga bahwa setiap kesuksesan tak pernah bisa dicapai dengan mudah. Bahkan saat bisnisnya melaju pesat, Yuke juga merasakan betapa batu terjal terus mengintai. Dia menganggap itu sebuah tantangan.
Tahun 2009, misalnya. Saat Unesco memutuskan bahwa batik sebagai warisan dunia dari Indonesia, apresiasi terhadap batik bak roller coaster yang tengah menanjak. Industri batik muncul di mana-mana. Batik Tulis Sumbersari yang semula pemain tunggal, kala itu telah memiliki banyak penantang. Baik di Bondowoso maupun di Jember. Sempat pula, omsetnya turun hingga 30 persen.
Namun Yuke tak berdiam diri. Yuke memantapkan dirinya sebagai petarung yang tak akan berdiam diri diterjang keadaan. Serupa cambuk bagi seekor kuda yang menarik kereta, Yuke berlari lebih kencang. Bukan dengan mengagregasi pasar pesaing, Yuke lebih konsern untuk terus meningkatkan kualitas garapannya.
Hal itu terbukti manjur, pasar yang semula hilang perlahan-lahan mulai kembali. Dari situlah, Yuke kian yakin bahwa batik adalah persoalan kualitas. “Memang dua-tiga bulan mereka (konsumen) membeli ke produsen lain. Tapi setelah itu balik lagi ke kita,” ujarnya.

Majukan Potensi Dua Daerah

Secara geografis, lokasi Batik Tulis Sumbersari terletak di Kabupaten Bondowoso. Namun industri batik ini juga memiliki ikatan erat dengan Kabupaten Jember. Sempat terjadi tarik menarik antara kedua daerah untuk menjadikan industri batik ini sebagai binaannya. Namun Yuke memilih untuk sama-sama mengembangkan potensi dua daerah tersebut, melalui motif-motif pada batiknya.
Salah satu motif batik andalan Yuke adalah motif daun ketela. Saat ini, motif ini telah menjadi ikon dari Bondowoso. Diangkatnya motif ketela dalam produksinya ini tak lepas dari kecintaannya terhadap tanah kelahirannya. Sebagai putra daerah, pria kelahiran 8 Juli 1976 ini merasa harus ada yang diperbuat untuk daerahnya.
            Meski memiliki sejarah membatik, namun hampir tak ada catatan terkait pola desain dan motif dari batik asli Bondowoso. Apalagi pada masa lalu, aktivitas membatik di Bondowoso hanya dilakukan oleh perorangan. Belum dalam bentuk industri seperti saat ini. Hal itulah yang membuat catatan akan batik di Bondowoso hampir tak ada.
            Motif daun ketela, yang saat ini menjadi ikon Bondowoso sebenarnya sudah ada sejak Lilik Soewondo, bibinya membatik. Motif inilah yang kemudian terus dikembangkan sehingga akhirnya menjadi kekhasan Bondowoso. Cukup tepat memang, itu bila dikaitkan dengan daerah ini yang menjadi salah satu penghasil ketela pohon.
            Meski kalah bersaing dengan motif-motif lainnya, seperti motif tembakau, Yuke terus konsisten mengembangkan motif ketela. Di pasaran, motif ketela memang tidak selaris motif tembakau. Jika dipersentasekan, penjulaan batik motif ketela ini hanya 10 persen. Jauh di bawah motif tembakau mendominasi penjualan hingga 60 persen. Sisanya adalah motif-motif kontemporer lainnya.
            Meski persentase penjualan tak sebesar motif-motif lainnya, hingga saat ini, Yuke terus memproduksi motif ketela ini. Tak hanya itu, dia terus memperkenalkan motif ini saat berkesempatan mengikuti expo di luar kota, misalnya. Beberapa varian dari motif ketela juga terus dia kembangkan.
            Bentuk kecintaan lain terhadap tanah kelahirannya adalah dengan menciptakan motif-motif yang sangat kental dengan nuansa Bondowoso. Salah satunya adalah motif Singo Wulung serta motif aduan sapi, dua kesenian asli Bondowoso. “Meski masih sebatas by order,” kata ayah dari Muhammad Gavyn ini.
            Selain kepada tanah kelahirannya, Bondowoso, Yuke memiliki kedekatan tersendiri terhadap Jember. Di kota inilah, Yuke menghabiskan sebagian hidupnya dengan menimba ilmu di Unej Jember. Lulusan Administrasi Negara FISIP tahun 2000 ini juga memiliki jaringan luas, utamanya di bidang bisnis di Jember.
            Lebih dari itu, perhatian pemerintah Jember terhadap pengembangan batik yang dia lakukan juga cukup besar. Beberapa kali Yuke mendapatkan kesempatan untuk menampikan dan memasarkan karyanya saat pemeran-pameran yang sering dilakukan di Jember. Tak terhitung pula pejabat pemerintahan di Jember yang menggunakan batik produksinya.
            Semua itu tak lepas dari motif tembakau yang juga dia kembangkan. Berbicara tembakau memang tak lepas dari Jember. Daerah ini menjadi salah satu penghasil tembakau terbesar di Jember. Sebagian masyarakat di Jember juga hidup dari ‘daun emas’ itu. Tak pelak, batik dengan motif tembakau begitu mudah diterima pasar.
            Dengan sentuhan rasa dan kualitas yang terus dia jaga, kedua motif tersebut terus menjadi andalannya. Dia membawa motif tembakau dan ketela ke beberapa pagelaran bergengsi di tingkat nasional. Salah satunya adalah ketika batik hasil produksinya digunakan oleh desainer Barli Asmara untuk beberapa model ternama seperti Atalarik Syah beberapa waktu lalu di Jakarta.
            Baginya, kedua motif batik itu sama-sama memiliki keindahan dan kekuatan masing-masing. Untuk itulah, harus ada yang terus memperkenalkan kedua motif yang telah menjadi ikon itu hingga kian dikenal di tingkat nasional. Pada titik inilah, dia memilih untuk memajukan dua daerah yang dia cintai melalui motif pada batik produksinya

“Batik Adalah Hidup Saya”

Bukan sebatas persoalan mengejar materi, batik sudah menjadi media bagi Yuke untuk berbuat sesuatu bagi lingkungannya. Melalui batik, Yuke berhasil membuka lapangan pekerjaan yang layak bagi masyarakat di sekitarnya. Kini, sebanyak 50 pekerja menggantungkan hidupnya dari industi Batik Tulis Sumbersari yang dia pimpin.
Persoalan materi bukan lagi hal yang menjadi permasalah bagi Yuke. Batik telah memberikan penghidupan yang layak baginya. Apalagi, batik yang dia garap bukan batik kelas bawah. Dengan kualitas sebagai jualan utamanya, harga batik garapannya mencapai jutaan rupiah.
Untuk yang paling murah saja, misalnya, harganya berkisar Rp 400 ribu. Sementara untuk batik berbahan sutera, Yuke bias menjual hingga Rp 6 juta per lembarnya. Dengan harga melangit seperti itu, mengumpulkan rupiah bukan lagi persoalan baginya.
Tentu Yuke cukup puas dengan hal itu. Namun yang terpenting baginya, melalui industri batik yang digeluti, dia bisa bermanfaat bagi masyarakat di sekitarnya. Setidaknya, dia bisa membuka lapangan pekerjaan bagi mereka.
Kendati sudah memiliki banyak pekerja, Yuke tidak mau menghabiskan kesehariannya hanya dengan berleha-leha. Meski waktunya banyak disibukkan dengan terus membuka pasar baru, dia tak mau lepas sepenuhnya dari persoalan teknis.
Bersama dengan adiknya, Ifriko Desriandi, dia memonitor langsung setiap helai batik yang diselesaikan para pekerjanya. Bahkan, dia masih mau menyentuh malan atau pewarna batik demi menjaga kualitas batiknya. Yuke tak ingin hanya karena lupa kontrol, batik yang diproduksi turun kualitasnya. Dalam persoalan kualitas, Yuke begitu perfect. 
Selain terus membesarkan usahanya, Yuke yang hidup dari batik, juga berupaya menghidupi batik. Salah satunya dengan membagikan ilmu batiknya kepada generasi-generasi muda. Dengan seperti, diharapkan semakin banyak generasi muda yang mencintai dan terus menjaga salah satu warisan budaya dunia ini.
Untuk itulah, seringkali dia diminta untuk mengajarkan proses-proses membatik di beberapa sekolah. Yuke melakukan itu dengan sukarela, tanpa memikirkan atau mengharap honor dari itu.
          Kecintaannya terhadap batik yang begitu besar, membuat waktunya seakan habis hanya untuk urusan batik. Memikirkan motif baru, menjaga kualitas hingga membuka pasar baru menjadi kesehariannya. Yuke bahagia menjalani itu semua. “Batik telah menjadi hidup saya,” pungkasnya


Foto by Heru Putranto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar